Pendidik Yanyan Supiyanti, A.Md. (Foto: Istimewa) |
BENCANA - Alam melandanya
Tiada seorang pun kuasa menekan
Bencana alam melandanya
Miskin, kaya kena petaka yang sama
Penggalan lirik lagu Iwan Fals di atas, menggambarkan tentang terjadinya bencana dan manusia tidak kuasa atas hal tersebut. Manusia harus merenungkan dan mencari solusinya.
Kegiatan Anak Jabar Sadar Bencana yang diinisiasi Badan Penanggulangan Bencana Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat akan berdampak pada banyaknya anak yang terselamatkan ketika terjadi bencana, mulai dari gempa bumi, banjir, longsor hingga kebakaran, hal ini disampaikan oleh Pejabat (Pj) Gubernur Jawa Barat Bey Triadi Machmudin.
Tindakan responsif saat terjadi bencana alam adalah hal penting, tapi yang tak kalah penting adalah tindakan preventif atau mitigasi bencana, dituturkan Bey.
Selanjutnya, Bey mencontohkan saat kejadian gempa bumi di Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu, ada anak sekolah yang selamat dari reruntuhan, karena berlindung di bawah meja sekolah. Di sisi lain, karena panik anak yang lain berlarian keluar. Anak yang selamat mengetahui cara yang harus dilakukan ketika terjadi gempa dari media sosial.
Indonesia ada di peringkat kedua risiko bencana alam tertinggi dari 193 negara di dunia saat ini. Berarti tidak ada satu pun daerah di Indonesia bebas dari ancaman bencana alam, termasuk Jawa Barat. Ada 750 kejadian bencana alam di Jawa Barat setiap tahunnya.
Oleh karena itu, BPBD Jawa Barat melakukan simulasi guncangan gempa berkekuatan cukup besar, kemudian anak-anak diarahkan untuk bersembunyi di bawah meja dan tidak berlari. Tak hanya itu, anak-anak juga diberikan edukasi cara menyelamatkan korban yang terkena bencana. (Antaranews.com, 29-9-2024)
Berulangnya bencana yang memakan banyak korban menunjukkan bahwa kita butuh upaya mitigasi yang komprehensif agar bisa optimal mencegah bencana dan menyelamatkan masyarakat. Persoalan bencana bukan hanya penyelesaian setelahnya, tetapi apa yang menjadi penyebab bencana tersebut sehingga akan didapatkan solusi preventif yang efektif untuk mengatasinya.
Sejatinya, bencana terjadi bukan hanya karena faktor alam, tetapi berkaitan erat dengan kebijakan pembangunan negara yang destruktif dan eksploitatif.
Penguasa tak mampu siapkan sistem mitigasi secara komprehensif. Tidak hanya simulasi, tapi seharusnya penguasa menyediakan perumahan, bangunan, dan fasilitas umum yang tahan gempa.
Akar masalahnya adalah adanya liberalisasi ekonomi (kebebasan ekonomi), yakni perekonomian dikuasai oleh oligarki. Negara menjadi abai kepada kebutuhan rakyatnya.
Mitigasi yang sungguh-sungguh dan profesional sangat diperlukan ketika bencana datang, maka berbagai risiko yang terkait bencana bisa diminimalkan. Korban jiwa akibat bencana juga bisa dicegah, dampak gempa bisa diminimalkan, sehingga tidak meluas. Penyelesaian bisa lebih cepat, sehingga warga tidak perlu lama-lama mengungsi. Perekonomian dan aktivitas masyarakat pun bisa segera normal kembali, sehingga berdampak pada cepat pulihnya perekonomian.
Sayangnya, negara selalu gagap ketika terjadi bencana. Negara menjadikan keterbatasan dana sebagai penyebab kegagapan tersebut. Apakah benar negara kekurangan dana?
Akibat kegagapan negara, masyarakat yang terdampak bencana mengalami penderitaan. Mereka harus kehilangan harta benda, mengalami kerusakan rumah, bahkan sampai kehilangan nyawa. Setelah bencana, mereka juga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk memperbaiki rumah, perabot, dan alat elektronik yang tertimpa reruntuhan bangunan akibat gempa.
Islam Mampu Kelola Mitigasi secara Komprehensif
Negara di dalam Islam adalah raa'in (pengurus) dan bertanggung jawab atas nasib rakyatnya, termasuk saat terjadi bencana. Negara akan melakukan mitigasi secara komprehensif sehingga bisa meminimalkan risiko akibat bencana gempa. Negara akan mengerahkan segala sumber daya yang ada demi segera terselesaikannya bencana gempa tersebut, meskipun harus menyiapkan biaya yang cukup besar.
Biaya tersebut diperoleh dari pos khusus baitulmal untuk keperluan bencana alam. Syekh Abdul Qodir Zallum menjelaskan di dalam kitab Al-Amwal di Daulah al-Khilafah bahwa pada bagian belanja negara terdapat Seksi Urusan Darurat/Bencana Alam (Ath-Thawaari). Seksi Urusan Bencana Alam ini akan memberikan bantuan kepada umat yang tertimpa bencana.
Biaya yang dikeluarkan oleh seksi ini diperoleh dari pendapatan fa'i dan kharaj, serta dari harta kepemilikan umum. Jika tidak mencukupi, kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslimin yang kaya secara sukarela.
Belajar dari Jepang dan dari Masa Kejayaan Islam
Bagaimana Jepang menghadapi gempa? Di Jepang, antisipasi ancaman gempa sangat jelas, yaitu pengulangan dari gempa Great Kanto Earthquake yang sudah sangat well studied dengan estimasi kekuatan M 7,9—8,2.
Upaya mitigasinya pun sangat jelas. Dari penguatan standar bangunan, lalu jalur evakuasi, jalur air untuk antisipasi kebakaran pascagempa, hingga waktu pemulihan infrastruktur dasar dengan hitungan pasti.
Bagaimana dengan Islam? Dalam penanganan bencana, Islam memiliki strategi. Mengutip pendapat pakar geospasial Prof. Ing. Fahmi Amhar, saat era kekhilafahan di Turki misalnya, untuk mengantisipasi gempa yang dilakukan adalah membangun gedung-gedung tahan gempa.
Ketika masa Sultan Ahmet, ada seorang arsitek yang bernama Sinan, diperintahkan untuk membangun masjid dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh dan pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.
Masjid itu terletak pada tanah yang cukup stabil menurut penelitiannya. Di kemudian hari terbukti, ketika mengalami gempa besar di atas 8 SR tidak menimbulkan dampak serius pada masjid itu, meskipun banyak gedung modern yang roboh di Istanbul saat itu.
Negara senantiasa memberikan perhatian yang besar untuk tersedianya fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai jenis bencana. Negara akan membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga menyiapkan rakyat untuk selalu tanggap darurat. Jika terjadi bencana, negara dengan cepat mengevakuasi, menyiapkan barang-barang yang vital selama evakuasi, mengurus jenazah yang menjadi korban bencana, dan mengadakan rehabilitasi pascabencana. (*)
Penulis: Yanyan Supiyanti, A.Md.
Pendidik Generasi