Penulis, Isma Maulana Ihsan. (Foto: Istimewa) |
SIGNALCIANJUR.COM - Ada satu adagium menarik dalam bagaimana menyikapi isu sosial dan politik yang menjadi percakapan masyarakat: siapa yang diuntungkan?, pertanyaan sederhana itu akan menjawab rentetan peristiwa akan suatu fenomena yang ada, meski kerapkali, salah juga.
Belakangan, laman media sosial Cianjur dihebohkan dengan tuntutan mundur untuk Seketaris Daerah Kabupaten Cianjur yang dinilai tak harmonis dengan pimpinannya. Bahkan, telah ada satu video Bupati Cianjur pula meminta kerendahan hati Sekda agar segera mundur saja.
Tetapi, tuntutan mundur itu tak beralasan yang jelas, tak berpayung hukum yang pantas pun tidak disertai argumentasi yang logis. Dihadapan tata kelola pemerintahan, segala sesuatu yang tak rasional, harus gugur, demi akuntabilitas demokrasi yang sedang coba dibangun bangsa.
Kekuasaan, tidak boleh lagi membungkam ia para pemikir dan cendekiawan dalam menyuarakan protes atas tuntutan yang tak beralasan ini, di tulisan sebelumnya sahabat ketua Himat Pusat telah memberi tanggapan pula perihal atupoksi yang dilakukan oknum OPD yang menuntut mundur.
Kerap, kekuasan membisukan suara-suara para pemikir dengan dalih efisiensi dan ketertiban, tetapi pada saat ini hal tersebut harus mulai ditanggalkan, menggembok mulut para pemikir adalah sama dengan membiarkan kebusukan semakin bau diharibaan kehidupan masyarakat.
Dan itu nampak, dari bagaimana tuntutan terhadap Sekda agar mundur, dan tanpa kemudian bermaksud membela Sekda, tulisan ini merupakan jengkal pengingat bahwa ada ketakutan yang tak rasional, sejenis pesimisme radikal dan alienasi kuasa yang tengah terjadi di lingkungan Pendopo.
Ketakutan Bupati dan tupoksi ASN
Ada jejak makna, dari suatu pernyataan yang ada. Ketakutan politis hinggap dalam fenomena yang sedang terjadi, ketakutan akan sesuatu yang belum tiba (the-not-yet) sebabnya, jalan keyakinan, sebagai agenda sejarah harus dimulai. Dan ketakutan yang paling nyata adalah dari lingkungan terdekat.
Ketakutan apa itu? politisi, apapun latarbelakang dunianya selalu takut kehilangan suara, takut kehilangan legitimasi; desas-desus muncul, bahwa orang terdekatnya akan maju, menghadapi sang Raja di momen elektoral yang tiba sebentar lagi. Maka, agenda sejarah tadi telah dimulai.
Tetapi, ada yang senantiasa luput, rezim lupa bahwa masyarakat telah hidup, artinya rezim harus menjangkau pikiran masyarakat. Orang kebanyakan memerlukan argumentasi atas tuntutan yang ada, melupakan argumentasi sama saja membuka prasangka.
Delik ketidakharmonisan akhirnya dilayangkan sebagai upaya menjangkau pikiran masyarakat, tetapi kembali, masyarakat sudah terdidik; bukankah selama ini Bupati juga tak harmonis dengan wakilnya? Jika dengan logika yang sama, seharusnya baik Bupati dan wakilnya pun harus mundur.
Namun, persoalan tak sesederhana itu, Seketaris Daerah ternyata seorang ASN. Seyogyanya, ASN harus bersifat netral, utamanya di momen pilkada yang sebentar lagi tiba. Namun persoalannya, apakah benar Sekda akan mencalonkan diri?
Hanya ada Asap Tak ada Api
ASN dituntut untuk bersikap netral sebagaimana peraturan perundang-undangan mengamanatkan hal tersebut, tetapi hal ini terjadi pada saat-saat proses Pemilu terlebih saat masa kampanye sedang berlangsung.
Hari ini, sesiapa saja yang akan mencalonkan diri untuk merebut kursi pendopo belumlah jelas, hilal terhadap hal tersebut pun belum nampak. Maka, delik kedua yang mengatakan ketaknetralan Sekda di momen elektoral pun ditolak.
Karena jika bertesiskan demikian Sekda harus mundur dengan alasan bakal maju di Pilkada, tokoh-tokoh lain seperti Deden Nasihin, Ganjar Ramadhan dan bahkan wakil bupati sendiri harus mundur, karena ada isu yang mengatakan mereka pun akan maju sebagai kandidat bupati dan atau wakil bupati.
Perlu diketahui bersama, bahwa proses pemilu baru sampai pada tingkat rekruitmen penyelenggara adhoc di tingkat kecamatan, belum tiba pada pendaftaran calon. Artinya secara eksplisit, jika kemudian Sekda hendak maju pilkada, ia belum terdaftar, artinya isu yang menyebut ia bakal maju di pilkada hanyalah syak-wasangka semata.
Siapa yang Dirugikan?
Pada akhirnya masyarakat sendirilah yang dirugikan akan adanya isu ini, proses pelayanan masyarakat bakal tersendat, yang dalam waktu bersamaan sebenarnya pekerjaan rumah di Cianjur masih banyak tetapi penjabat yang ada malah sibuk mengerjakan pekerjaan yang bukan tugasnya.
Padahal, demokrasi nasional sedang diupayakan untuk mencapai titik akuntabilitasnya sebagaimana yang disinggung Fukuyama, akuntabilitas demokrasi harus memerhatikan salah satu aspeknya ialah responsifitas terhadap kebutuhan masyarakat. Sayangnya, banyak ditemui dinas-dinas yang menuntut Sekda mundur tidak memerhatikan aspek akuntabilitas itu. Tetapi, malah bersikap politis dengan menuntut untuk mundurnya Sekda tanpa argumentasi yang jelas.
Akuntabilitas demokrasi ini perlu dalam konteks kecianjuran, dikarenakan saat proses demokratisasi yang juga dilakukan di ranah birokrat, maka segala ragam kebutuhan masyarakat akan diakomodir penguasa, sehingga tak akan terjadinya alienasi kuasa yang dilakukan.
Alienasi kuasa merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan di mana segala bentuk Pembangunan hanya diorientasikan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya, sehingga mereka hanya membentuk (circle) kekuasaan semata dan implikasi logisnya terjadinya alienasi atau keterasingan bagi sebagian masyarakat lain.
Keterasingan itu, diakibatkan karena sikap politis-pragmatis yang ditonjolkan kelompok penguasa yang tidak berorientasi pada pemberdayaan semua kalangan, Cianjur telah mengalami hal tersebut, terutamanya saat masa jabatan Herman ini. Sayangnya, di akhir kekuasaan beliau, alih-alih memperbaiki, bupati malah terjebak dalam manufer politik yang kacangan. (Red/*)
Penulis: Isma Maulana Ihsan