Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi, Ummu Fahhala, S.pd. (Foto: Istimewa) |
PEMANDANGAN - Sudah biasa dilihat, banyaknya masyarakat yang mencari kerja selalu memadati tempat atau bursa lowongan kerja. Seperti di Cianjur, puluhan ribu pencari kerja menyerbu sejumlah cabang kantor pos, untuk mengirimkan lamaran ke pabrik sepatu terbesar di Kabupaten Cianjur, seperti dilansir detik.com (07/02/2024).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Disnakertrans Jabar pada tahun 2022 jumlah tingkat pengangguran terbuka (TPT) Cianjur mencapai 8,41 persen, sedangkan tahun 2023 mencapai 7,71 persen, pada periode Agustus 2022 hingga Agustus 2023 TPT sebanyak 102.589 orang, angkatan kerja didominasi lulusan SMK, sebagaimana dikutip jabar.antaranews.com (08/02/ 2024).
Tidak hanya di Cianjur, jumlah pengangguran di beberapa daerah atau kota lain di Jabar masih menempati angka yang tinggi, sedangkan lapangan pekerjaan masih sangat terbatas. Pada faktanya, pengangguran di Jabar termasuk tertinggi kedua di Indonesia, yakni mencapai 7,89% sekitar 2 juta orang pada Februari 2023 yang meningkat dari 1,86 juta orang per Februari 2019. "Padahal Jawa Barat adalah wilayah industri, yang mendapatkan investasi terbesar," ujar Ketua Umum DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jawa Barat, Roy Jinto pada katadata.co.id (07/09/2023).
Masalah pengangguran ternyata tidak selesai dengan banyaknya investasi asing yang masuk. Hal ini butuh penanganan serius dari pihak pemerintah untuk mendapatkan solusi yang efektif.
Kapitalisme Sekuler Penyebabnya
Untuk mendapatkan solusi efektif terkait banyaknya masalah pengangguran dan minimnya lapangan perkerjaan, kita harus melihat akar penyebab semua itu terjadi.
Tingginya angka pengangguran terus menjadi persoalan. Tidak hanya terjadi pada negara berkembang, tapi juga negara maju seperti Amerika dan China. Itu semua berpangkal dari penerapan ekonomi neoliberal kapitalisme sekuler. Jika kita cermati, setidaknya ada tiga hal yang menjadi penyebabnya :
Pertama, sistem kapitalisme ini fokus kepada keuntungan individu. Sebuah perusahaan senantiasa fokus pada keuntungan yang maksimal dengan menekan biaya produksi. Sedangkan biaya produksi yang paling mudah untuk ditekan adalah upah pekerja, alhasil upah rendah dan PHK, disebut sebagai bentuk efisiensi perusahaan. Inilah yang semakin mengurangi jumlah lapangan pekerjaan.
Kedua, sistem kapitalisme menyebabkan seluruh urusan umat diserahkan kepada swasta, termasuk lapangan pekerjaan. Alhasil kebijakan untuk menyerap tenaga kerja fokus pada pertumbuhan satu perusahaan. Contohnya, pada pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19, pemerintah lebih banyak menggelontorkan dana kepada perusahaan besar dengan alasan agar perusahaan tersebut mampu bertahan dan tidak mem-PHK karyawannya, ketimbang menggelontorkan dana pada rakyat yang butuh suntikan dana untuk modal usaha. Jadi, ketika rakyat dikatakan sulit untuk mendapatkan pekerjaan, sejatinya karena iklim usahanya yang tidak mendukung, rakyat dengan keterbatasan modalnya tentu akan sulit bersaing dengan perusahaan besar yang dengan mudah mengakses modal untuk mencapai segala usahanya.
Ketiga, sistem ekonomi kapitalisme ini tidak menjadikan negara sebagai pihak sentral dalam pemenuhan kebutuhan rakyat. Negara hanya sebagai regulator, bahkan dengan disahkannya UU cipta kerja menjadi ilusi penciptaan lapangan kerja.
Solusi Islam
Berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi Islam sudah terbukti mampu menyejahterakan seluruh warga negaranya hingga berabad-abad. Hal ini disebabkan karena setidaknya ada empat faktor yaitu:
Pertama, Islam memiliki regulasi kepemilikan yang tidak dimiliki oleh kapitalisme. Kapitalisme menganggap bahwa manusia berhak memiliki apapun hingga barang milik umum, seperti air dan barang tambang yang melimpah boleh dikuasai oleh siapapun termasuk asing. Ini tentunya berbeda dengan Islam, Islam mengharamkan barang milik umum dikuasai individu, sebab barang tersebut milik seluruh rakyat, yang justru harus dinikmati oleh rakyat. Negara hanya boleh mengelolanya dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat.
Kedua, pengelolaan sumber daya alam yang melimpah ada di tangan rakyat. Hal ini akan sangat menyerap lapangan pekerjaan, eksplorasi bahan mentah sangat membutuhkan tenaga kerja. Saat ini, pengelolaan diserahkan kepada swasta, sehingga swasta bebas menentukan asal tenaga kerjanya. Alhasil tenaga kerja asing (TKA) masuk pada saat warga negara menganggur.
Ketiga, pengaturan upah dalam sistem Islam tentunya sangat berbeda dengan sistem kapitalisme. Biaya produksi dalam sistem Islam tidak menentukan besaran upah. Hal ini karena upah dihitung berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan majikan, atau sering disebut dengan upah sepadan. Maka, tidak akan ada demonstrasi penuntutan kenaikan upah, sebab hal yang demikian telah disepakati.
Adapun terkait dengan kesejahteraan pekerja, hal itu bukanlah tanggung jawab majikan melainkan negara. Jika dengan upah sekian, pekerja tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, negaralah yang bertanggung jawab menjamin pemenuhannya.
Keempat, negara sebagai pihak sentral dalam menyelesaikan persoalan umat termasuk menciptakan lapangan pekerjaan, berdasarkan HR. al-Bukhari bahwa Imam adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia akan bertanggung jawab atas rakyatnya. Maka negara akan memastikan para laki-laki bekerja dan mampu memenuhi kebutuhan tanggungannya, didasarkan pada QS. An-Nisaa [4] : 34 dan QS. Al-Baqarah [2] : 233. Di sisi lain, dengan pemenuhan tanggung jawab tersebut akan lahir kesejahteraan bagi semuanya.
Sungguh, hal demikian telah terukir dalam sejarah ketika Islam diterapkan, semua rakyat hidup sejahtera. Tengoklah kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang menjadikan rakyatnya sejahtera, sampai tidak ada yang berhak menerima zakat, karena kesejahteraan telah dicapai oleh semua warganya. Juga kisah kegemilangan Khalifah Harun al-Rasyid yang mengosongkan baitul mal, sehingga tidak ada satu pun rakyatnya yang kelaparan. Tentunya kita merindukan sistem yang seperti ini, yang bisa secara efektif menyelesaikan masalah penganguran sampai kepada akarnya, juga menyejahterakan seluruh rakyat. (Red/*)
Oleh : Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)